Rabu, 08 September 2010

Mengapa Gereja Terlibat Dalam Masalah Sosial?

Basilika Santu Petrus
Gereja mempunyai perhatian khusus terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini dapat kita lihat secara jelas dalam tindakan-tindakan Gereja dalam kemiskinan, bencana alam, perlindungan anak persoalan perburuan dan banyak persoalan sosial lainnya. Muncul suatu pertanyaan, mengapa Gereja terlibat dalam masalah sosial?
1.      Karena Gereja mengetahui keberadaannya ditengah dunia.
Sejak dahulu Gereja mempunyai suayu pandangan bahwa dunia berada dalam Gereja. Pandangaan ini sangat melekat dalam diri Gereja hingga sebelum Konsili Vatikan II dan sangat mempengaruhi kehidupan Gereja. Gereja dianggap sebagai otoritas kekuasaan mutlak. Pandangan ini runtuh akibat modernisasi dan perkembanagn ilmu penegtahuan serta teknologi. Setelah perang dunia banyak persoalan sosial yang muncul sehingga Gereja menyadari hal ini  dan berusaha membuka diri. Paus Yohanes XXIII mengumumkan untuk mengadakan suatu konsili, yang kemudian dikenal dengan Konsili Vatiakan II.
Dalam konsili Vatikan II Gereja mulai membuka diri dan menyadari bahwa Gereja sebenarnya berada dalam dunia. Oleh karena itu Gereja juga harus mempunyai peranan terhadap dunia. Persoalan sosial yang dialami oleh masyarakat dunia juga merupakan persoalan Gereja. Persoalan kemiskinan, perburuan dan tenaga kerja, hak asasi dan banyak persoalan lainnya. Persoalan dunia ini juga merupakan tanggung jawab dan menuntut suatu peran aktif Gereja. Kesadaran dan rasa tanggungjawab ini yang mendororng Gereja untuk berperan aktif dalam masalah sosial.
Selain itu dalm pengertian Gereja sebagai umat Allah, Gereja mempunyai dimensi sosial kerena umat sebagai suatu paguyuban manusia yang mempunyai suatu tujuan yakni untuk mencapai kebahagian bersama Bapa. Umat sebagai paguyuban tidak bisa lepas dari suatu sifat manusia sebagai mahkluk sosial. Jadi persoalan umat merupakan persoalan sosial yang selalu menuntut Gereja untuk untuk terlibat secara proaktif dan bertanggungjawab.
2.      Masalah-masalah sosial berdasar film The Rules of the World
Dalam film The Rules of the World mengambarkan banyak persoalan sosial yang timbul akibat globalisasi teristimewa di negara-negara berkembang. Gobalisasi memiliki dua akibat yang saling bertentangan yakni keuntungan bagi negara maju dan kerugian bagi negara berkembang. Hal ini juga sangat dirasakan di negara kita. Yang kaya dan yang berkuasa semakin kaya dan semakin berkuasa sedangkan yang miskin semakin miskin dan tertindas.
Globalisasi yang dicetuskan oleh negara berkembang merupakan suatu bentuk penjajahan baru yang tidak pernah kita sadari. Negara maju mulai mencari koloni-koloni baru di negara berkembang dengan berbagai daya yang sangat licik dan cerdik. Mereka mengembangkan sektor industri dengan memanfaatkan upah buruh yang relatif  kecil di negara-negara berkembang. Salah satu contoh yang paling nampak adalah di negara kita sendiri. Kita tidak pernah menyadari hal ini sejak dahulu.
Pada era presiden Soekarno yang sangat nasionalis dan menolak segala bentuk kapitalisme dan liberalisme sehingga Amerika yang saat itu melihat indonesia sebagai suatu ladang koloni yang subur berusaha untuk menggulingkannya. Berbagai isu mulai disebarkan diantaranya isu komunis. Amerika mulai memberikan simpati dan mendukung Indonesia dalam menumpas PKI beserta ormas-ormasnya. Soekarno berhasil digulingkan dan PKI berhasil ditumpas. Pada saat itu banyak masyarakat tak berdosa dibantai. Terjadi pembunuhan massal yang kita anggap sebaggai suatau bentuk perjuangan, sebuah tindakan patriotik bodoh. Ini juga merupakan kegelapan hukum kala itu, sebab tidak ada proses peradilan yang jelas. Membunuh saudara sendiri tanpa suatu alasan yang jelas atau alasan yang dibuat oleh pihak lain dengan tujuan lain. Mata hati kita telah dibutakan oleh Amerika  yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi. Suatu bentuk pelanggaran HAM yang kita diamkan. Dimanakah rasa kemanusiaan bangsa ini? Lari kemana sila kemanusiaan yang adil dan beradab? Atau inikah suatu bentuk manusia beradab masa kini? Jawabannya adalah tanpa kemanusiaan, tanpa keadilan dan tanpa keberadapan. Yang ada hanya kebiadaban manusia.
Setelah Soekarno meninggal dan Soeharto naik tahkta, perekonomian dan politik Indonesia semakin diatur   oleh Amerika Serikat. Sistem neokapitalis secara tak langsung perlahan tapi pasti telah masuk dan dan merusak bangsa ini. Amerika dengan beserta sekutunya IMF memberikan pinjaman kepada Indonesia dengan janji bunga lunak. Indonesia tergiur dengan bunga lunak  menerima menerima tawaran tanpa berpikir panjang. Banyak investor mulai melirik Indonesia negeri kaya yang  bodoh. Mengapa mereka melirik Indonesia? Banyak keuntungannya. Pertama karena upah buruhnya yang relatif murah. Kedua jam kerja tidak dibatasi. Undang-undang perburuannya yang tidak ketat, malah menguntungkan para pengusaha. 
Apa akibat neokolonilialisme dan neokapitalisme yang Amerika terapkan di nasional ini? Kemiskinan yang merajalela adalah akibat yang dilihat dan dirasakan secara nyata. Di samping bangunan perusahaan yang megah bergelimpangan masyarakat miskin yang tak berdaya. Masyarakat miskin yang berkerja di perusahan dengan upah yang rendah tanpa pembatasan jam kerja tanpa perlindungan undang-undang semakin melarat. Dan jika ada peraturan perundang-undangan, itu hanya suatu formalisasi belaka. Sebab dalam kenyataan yang ada peraturan itu hanya peraturan tanpa realisasi. Organisasi perburuan yang sebenarnya menyuarakaan suara  para buruh, dibungkam. Jika bersuara maka ia siap dipecat daan kehilangan pekerjaan.  Oleh sebab itu maka para buruh lebih memilih diam dari pada tak ada piring nasi untuk anak istri. 
Hal ini semakin diperparah oleh krisis ekonomi yang melandasebagian besar negara Asia yang perekonomiannya dikuasai oleh Amerika. Bagaimana dengan nasib republik ini? Jatuh  dan tak berdaya. Itulah nasib yang dialami republik ini. Banyak buruh yang terpaksa diPHKkan untuk mempertahankan nasib perusahan tersebut. Banyak buruh kehilangan pekerjaan. Angka penganguran semakin meningkat. Karena penganguran yang meningkat tak terelakan lagi kejahatan untuk mempertahankaan hidup. Pembunuhan, perampokan, penculikan para aktivis sosial marak. Republik tercinta berubah menjadi sebuah jagat kejahatan. Hukum rimba berlaku disana. Yang kuat yang hidup, yang lemah siap dimangsa.
Orang Miskin di Indonesia
Persoalan lain yang juga marak adalah korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Sebuah penyakit  lama yang baru muncul. Ternyata pinjaman yang mengatasnamakan negara bukan untuk negara, tetapi masuk ke kantong sang jendral, raja Soeharto beserta kroni-kroninya. Pinjaman dalam jumlah besar yang harus dikembalikan. Siapa yang menanggung dosa korupsi ini? KITA. Masyarakat yang tak tahu dan tak pernah merasakan pinjaman itulah yang menaggung akibat kekuasaan sang Raja Soeharto dan kroninya. Sebuah tugas bodoh harus kita jalankan demi Republik  bodoh yang tercinta ini. 
Setelah sang raja Soeharto turun tahkta dan telah meninggal, apa yang terjadi hingga saat ini? Korupsi yang dicetuskan oleh  para reformis tidak ada titik terangnya. Koruptor tetap saja berkeliaran dengan bebas. Orang bertanya di mana keadilan, jika pencuri ayam dipenjara tanpa proses hukum sedangkan pencuri uang negara dan pembunuh saudaranya yang terjadi beberapa tahun silam masih bebas meloncat dari suatu tempat ke tempat lain seperti kambing yang menginjak masa pubertas?
Bagaimana sikap Gereja dengan hal semacam ini? Gereja bersuara namun takut sebab dia adalah yang terkecil. Dia adalah kaum minor. Tetapi apakah Gereja harus tetap seperti ini? Jawabannya tak tentu. Dan sampai kapan ini terus terjadi? ENTAH. [Martinus Malo Ngongo]

Kekerasan Dalam Keluarga [Pelanggaran Nilai Hukum Moral Fundamental]

1. Pendahuluan
Hukum Moral
Secara kodrati manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu ia membutuhkan orang lain. Membentuk sebuah keluarga merupakan perwujudan dari manusia sebgai makhluk sosial. Relasi pria dan wanita dalam membangun keluarga didasarkan atas relasi cinta. Menjadi sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab adalah mengapa terjadi kekerasan dalam keluarga? Dalam memaparkan tulisan ini, penulis mencoba mengangkat kembali kasus penyiraman air keras yang dilakukan oleh Mulyono kepada Lisa yang tidak lain adalah isterinya sendiri. Realitas ini sulit untuk dipahami, sebab sebagai anggota keluarga seharusnya mereka saling mengasihi, mencintai, dan melindungi. Dalam pemaparan paper ini, penulis mencoba menggali sebab terjadinya tindak kekerasan dalam keluarga sebagai pelanggaran terhadap nilai moral fundamental.
2. Contoh Kasus Kekerasan Dalam Keluarga
Mulyono Eko 41 tahun, terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap istrinya, Siti Nur Jazilah alias Lisa, dituntut 12 tahun penjara, Kamis (8/2). Jaksa menyatakan tak ada hal yang bisa meringankan terdakwa. Saksi yang berbicara dalam kasus ini mengatakan bahwa Mulyono cemburu dan menuduh Lisa melakukan perselingkuhan. Dalam pembacaan kronologi kejadian, jaksa menguraikan bahwa Mulyono sudah lama merencanakan penyiraman air keras kepada Lisa. Tepatnya sejak Mulyono menjemput Lisa dari Pontianak untuk pulang ke rumahnya di Kabupaten Pasuruan, pada tanggal 23 Desember 2002. Saat tengah menunggu pesawat menuju Jakarta di Bandara Supadio Pontianak, Mulyono sudah menyimpan air keras dalam botol minuman dalam jaket.
Setiba di rumah, keesokan harinya 24 Desember 2002, Lisa langsung tidur dan mengabaikan panggilan Mulyono. Karena kesal panggilannya tidak ditanggapi, Mulyono pun menyiramkan air keras kepada Lisa dan mengenai wajah, leher kanan, dan punggungnya. Namun, kejadian tersebut tak diakui Mulyono. "Bagaimana mungkin bisa naik pesawat bawa air keras?" ujarnya lagi. Kuasa hukum Lisa, Selvin Laka menyatakan puas dengan tuntutan jaksa. Ia berharap tuntutan 12 tahun itu akan diputuskan oleh hakim. "Jangan sampai turun lagi," ujar Selvin saat hendak mengabarkan tuntutan jaksa kepada Lisa yang masih dirawat di RSUD Dr Soetomo.  
3. Kekerasan Sebagai Pilihan Dasar (Optio Fundamental)
Berhadapan dengan realitas dunia serta berbagai macam tuntutan nilai yang harus dicapai, mau-tidak mau manusia harus menentukan sikapnya. Penentuan sikap hidup ini menjadikan manusia memperoleh orientasi dasar hidup, memilih cara hidup, serta memberi jawaban dan mempertanggungjawabkan pilihannya kepada Sang Pencipta sebagai penciptanya. Pilihan dasar manusia terjadi dan keluar dari inti lubuk hatinya, dan tertuju kepada Tuhan. Optio yang mempengaruhi evolusi kepribadian manusia memungkinkan perwujudan kebebasan pribadi yang lebih lengkap. Thomas Aquinas dalam ajarannya mengatakan bahwa optio ini harus diletakkan pada awal hidup seseorang atau mendahului hidup moral seseorang. Tidak dapat disangkal bahwa dalam perjalanan hidupnya, optio yang ditentukan manusia dapat berubah sewaktu-waktu.
Mulyono dan Lisa telah memutuskan untuk menentukan pilihan dasar mereka, yakni perkawinan. Dengan sendirinya, mereka seharusnya memberikan lebih banyak perhatian, waktu dan tenaga untuk pasangan hidup mereka. Perkawinan sebagai pilihan dasar, mengandaikan pula bahwa mereka memiliki kesadaran eksistensi sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Mereka seharusnya memandang perkawinan sebagai salah satu cara untuk mempertanggungjawabkan keberadaan mereka di dunia kepada Tuhan sebagai pencipta. Sebagaimana telah dikatakan bahwa optio fundamental sewaktu-waktu dapat berubah, hal ini terjadi dalam kehidupan perkawinan Mulyono dan Lisa. Kekerasan yang dilakukan oleh Mulyono terhadap Lisa merupakan bentuk penyangkalan janji yang telah ia ungkapkan dalam perkawinan sebagai pilihan dasar. Kekerasan ini mengindikasikan bahwa Mulyono tidak bertanggungjawab terhadap pilihan dasar yang telah ia buat. Oleh karena tidak bertanggungjawab terhadap pilihan dasar yang telah dipilih secara bebas, maka kekerasan ini dapat dikatakan sebagai tindakan penyangkalan terhadap optio fundamental.
4. Kekerasan Sebagai Tindakan Manusiawi (Actus Humani)
Setiap manusia sejak kelahirannya telah dianugerahi akal budi yang memampukannya melakukan sesuatu serta menilai baik buruknya sesuatu. Berkaitan dengan kodrat akal budi, manusia dihadapkan pada suatu nilai moral yang disebut actus humani atau tindakan manusiawi. Actus humani merupakan perbuatan yang dilakukan manusia, selaku manusia yang tahu dan mau secara bebas, sehingga ia bertanggungjawab atas perbuatannya yang dikuasai itu. Penulis merasa perlu untuk memberikan pembedaan di sini antara tindakan manusiawi ( Actus humani) dengan tindakan manusia ( Actus hominis), agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai dan menentukan jenis suatu tindakan. Actus hominis adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, tetapi tidak selaku manusia yang tahu dan mau secara bebas. Artinya bahwa tindakan itu dilakukan tanpa pemikiran atau budi, misalnya orang mabuk, tidur, dalam situasi hipnotis, gila, dilakukan secara terpaksa karena tekanan dari dalam dan luar.
Sebelum peristiwa penyiraman air keras ke wajah Lisa, Mulyono selaku suami telah merencanakan perbuatannya itu. Hal ini dapat dibandingkan dengan hasil penyelidikan jaksa dalam persidangan. “Saat tengah menunggu pesawat menuju Jakarta di Bandara Supadio Pontianak, Mulyono sudah menyimpan air keras dalam botol minuman dalam jaket”. Jelas terlihat bahwa obyek tindakan yang ingin dicapai oleh mulyono adalah merusakkan wajah isterinya. Dengan kapasitasnya sebagai makhluk berakal budi, Mulyono tahu bahwa obyek tindakan yang direncanakannya berdampak buruk bagi isterinya. Ia juga tahu bahwa bahwa dengan melakukan tindakan kekerasan seperti itu, ia melanggar nilai moral dan hukum yang berlaku. Meskipun demikian, ia tetap mau menjalankan rencana penganiayaan terhadap isterinya tersebut.
Tindakan kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa bisa dituntut pertanggungjawabannya, sebab tindakan kekerasan tersebut dikehendaki dan dilakukan secara tahu dan mau. Pada titik ini, Mulyono sebagai subyek pelaku diandaikan memiliki kesadaran tahu dan mau yang otonom dan pengetahuan yang mencukupi atas apa yang ia lakukan. Ia ingin merusakkan wajah istrinya dengan air keras. Air keras di sini bukanlah obyek tindakan moral. Tindakan merusakkan wajah isterinya adalah tindakan tahu dan mau, sebab tindakan tersebut memang benar-benar disadari dan diketahui secara mencukupi oleh Mulyono sebagai subyek pelaku. Kehendak untuk merusakkan wajah istrinya merupakan aspek penilaian tindakan moral. Maka dari sudut pandang actus humanus, tindakan kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa sebagai tindakan tahu dan mau. Mulyono dapat dikategorikan sebagai pelanggar nilai moral, dan layak mendapat hukuman yang telah ditetapkan baginya.
5. Kehendak Bebas
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita mendengar orang berargumen tentang kebebasan. Dalam media, kita kadang menyaksikan orang melakukan demonstrasi menuntut hak untuk memperoleh kebebasan dalam hidup. Kita juga mengetahui bahwa manusia di dunia itu hidup dalam ruang dan waktu. Hal ini memberi gambaran bahwa ruang lingkup kebebasan manusia terbatas. Manusia secara kodrati tidak dapat menggunakan kebebasan sesuka hatinya, sebab ia memiliki keterbatasan. Menjadi pertanyaan adalah apakah hubungan kehendak bebas sebagai nilai moral dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang bebas? Manusia sebagai makhluk yang bebas berarti manusia memiliki hak untuk menikmati kebebasan itu, tanpa dibatasi oleh manusia lain. Kehendak bebas seseorang terkait dengan tatanan nilai-nilai normatif yang diandaikan oleh manusia pada saat menggunakan kebebasan. Kehendak bebas bukan hanya bebas dari paksaan luar, tetapi juga bebas dari paksaan dalam. Hal ini berarti bahwa kemungkinan untuk mengambil keputusan yang lain dari pada keputusan itu diambil sekarang. Kehendak bebas juga berarti kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat, untuk melakukan hal yang ini atau yang itu.
Kekerasan yang dilakukan Mulyono terhadap Lisa dipengaruhi oleh kehendak bebasnya sebagai manusia. Kehendak bebas yang dimiliki, memungkinkan Mulyono secara bebas membuat keputusan menganiaya isterinya dengan cara menyiramkan air keras pada wajah Lisa. Kehendak bebas pula yang membuat dia merasa mantap untuk tetap berada pada keputusannya melakukan tindak kekerasan. Kehendak bebas berarti bebas dari paksaan luar maupun dalam. Jika pada saat melakukan penganiayaan terhadap isterinya, Mulyono mendapat desakan atau paksaan dari pihak luar, maka Mulyono sebagai subyek pelaku, tidak dapat disebut sebagai pelaku pelanggaran nilai moral. Namun tindakannya disebut sebagai pelanggaran atau kekerasan dalam nilai moral. Tindakan Mulyono dilakukan secara bebas, sebab itu ia dapat  dituntut dan wajib memberikan pertanggungjawabannya.
6. Penutup
Keadilan
Pertanyaan mendasar yang ingin penulis munculkan dalam akhir tulisan ini adalah “Dari manakah datangnya kejahatan dan kekerasan?” Bukankah pada awal penciptaan Tuhan telah mengatakan bahwa segala sesuatu yang Ia ciptakan adalah baik adanya? Terminologi “baik adanya” mengandaikan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini baik, tidak ada ruang atau bahkan konsep untuk sebuah terminology jahat atau kekerasan. Pernyataan ini hanyalah sebuah idealisme dalam tataran akal budi.
Realitas konkrit dunia mengatakan bahwa kejahatan dan tindak kekerasan itu ada dan berdiam dalam diri manusia. Jika demikian, mengapa Tuhan mengatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan adalah baik adanya?  Kodrat dari segala yang ada, termasuk manusia adalah baik. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi dari segala ciptaan yang lain. Manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas untuk bertindak. Jadi, keberadaan kejahatan dan kekerasan di dunia disebabkan oleh kehendak bebas manusia untuk berbuat. Terjadinya kekerasan dalam keluarga dikarenakan oleh penyalahgunaan kehendak bebas yang telah dianugerahkan Tuhan.